Jumat, 03 Februari 2012

Joglo Kudus

Rumah Adat Jawa Tengah
Joglo Khas Kudus

Agung Budi Sardjono
Post By Admin 

Abstract
Kudus traditional house, or better known as Pencu Joglo embodied Pesisiran Javanese culture, especially Kudus. A range of Javanese culture that are in the area north coast of Java. Known as the merchant community with a high Islamic religiosity. For those of Javanese society be underestimated. Historically this merchant communities often get worse treatment from the priayi Java, from the colonial rulers and of their trade rivals, the Chinese people. While on the other hand they are successful people in the field of economy. This treatment caused them to be a rather closed society and more obsessed to the economic field. Their success in the field of economy and then poured out in his view, especially in Jogosatru, living room, which can be displayed to everyone who came to visit. The discussion of this paper is done by first exploring the physical aspects of spatial pencu Joglo house, especially at Jogosatru, setting and activity then developed in relation to socio-cultural community as a representative of pesisiran culture. Jogosatru is a form of self-actualization needs in the community ownership of the Kudus house. Keyword: guest room, traditional house, coastal culture

I. SEJARAH DAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT KUDUS
Sejarah kota Kudus banyak di kaitkan dengan sejarah perkembangan agama Islam di Jawa serta sejarah tentang Walisongo. Ja’far Shodiq, salah seorang Walisongo yang menjadi penghulu di Demak, karena suatu alasan menyingkir dari pusat pemerintahan Demak kemudian menyiarkan agama Islam di Kudus (Salam, 1977). Daerah baru baru ini dinamakan Al Quds yang artinya kota suci, kemudian lebih dikenal dengan kota Kudus. Ja’far Shodiq sebagai penguasa Kudus kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus. Sunan Kudus membangun masjid pada tahun 1549 yang dinamakan masjid Al Aqsa atau masjid Al Manaar. Masjid Al Aqsa dan daerah sekitarnya kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Kejayaan Kudus menurun sepeninggal Sunan Kudus tahun 1550 dan berakhir ketika kerajaan Mataram Islam menguasai hampir seluruh daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak abad 18 Kudus berada dibawah kekuasaan Belanda dan dijadikan daerah setingkat Kabupaten. Perkembangan kota berpindah ke daerah baru di sebelah Timur Kali Gelis (dikenal dengan sebutan Kudus Wetan) pada abad 19, sementara daerah Barat tetap bertahan dengan kondisi tradisionalnya. Pada awalnya ketika Sunan Kudus mulai membuka kota, mata pencaharian penduduk yang tidak lain adalah pengikutnya adalah adalah berdagang. Perdagangan diantara masyarakat telah berkembang mengingat jarak yang tidak terlalu jauh dari Demak maupun Jepara sebagai bandar perdagangan yang cukup ramai pada saat itu (Wikantari, 1995). Pada masa kekuasaan Mataram, Daerah sekitar Kudus berkembang menjadi daerah pemasok beras utama bagi Mataram. Pada massa ini perdagangan palawija meningkat pesat yang memberikan banyak keuntungan bagi para pedagang Kudus, khususnya di Kudus Kulon. Menjelang akhir abad 19 kemakmuran masyarakat kembali meningkat karena melimpahnya hasil pertanian. Hasil panen ini menjadi mata dagangan penting bagi pedagang-pedagang Kudus. Daerah jelajah pedagang-pedagang Kudus juga semakin luas walaupun masih terbatas di dalam pulau Jawa (Castles, 1982). Pada paruh pertama abad 20 Kudus menjadi terkenal karena pabrik rokoknya. Industri yang semula merupakan kerajinan rumah tangga berkembang menjadi industri besar. Perkembangan ini menarik kalangan masyarakat Cina untuk turut terjun dalam industri rokok. Persaingan ini memicu pertentangan antar etnis yang puncaknya terjadi pada tahun 1918 dengan pecahnya geger pecinan. Setelah peristiwa tersebut perkembangan rokok kretek milik pribumi mengalami kemunduran dan banyak yang kemudian bangkrut atau tutup, industri rokok ini kemudian bayak dipegang oleh etnis cina yang mengembangkannya menjadi industri raksasa. Sampai saat ini industri serta perdagangan masyarakat Kudus Kulon tidak pernah lagi dapat mengulangi masa kejayaan tersebut. Kota Kudus Identik dengan kota santri atau kota Islam, sejak berdirinya yang merupakan bagian dari rangkaian penyebaran agama Islam di Jawa, Kudus berkembang menjadi pusat pengetahuan dan pengembangan agama Islam yang termashur di Jawa, bahkan nusantara. Pada kenyatannya predikat tersebut hanya berlaku pada daerah kota lama atau Kudus Kulon, sementara pada daerah-daerah lain lebih merupakan daerah sekuler (Bonnef, 1983). Masyarakat Kudus kulon dikenal sebagai masyarakat muslim yang fanatik. Mereka berusaha menjalankan semua perintah agamanya dan menjauhi larangan-larangan agama. Dalam melaksanakan agamanya masyarakat banyak meneladani ajaran Sunan Kudus. Agak berbeda dengan ajaran Sunan Kali Jaga yang berkembang di Demak serta daerah pedalaman yang banyak mengakomodir ajaran Hindu maupun kepercayaan animisme dan dinamisme, ajaran Sunan Kudus relatif lebih puritan dengan mengharamkan kegiatan-kegiatan yang berbau mistik dan sirik. Di kalangan masyarakat Kudus Kulon tidak pernah sama sekali menyelenggarakan kegiatan pagelaran wayang kulit yang dianggap banyak memasukkan unsur Hindu serta kepercayaan. Sementara wayang kulit merupakan alat ampuh bagi Sunan Kalijaga untuk menyebarkan ajaran Islam. Sampai saat ini dalam hal keagamaan masyarakat Kudus kulon merasa sebagai penganut Islam fanatik sementara penganut Islam yang lain disebut sebagai Islam abangan (Sardjono, 1997). Salah satu orientasi masyarakat Kudus adalah menunaikan ibadah haji dan kalau mampu menjadi pemuka agama (kiai) serta mendirikan pesantren sekembalinya dari tanah suci. Gelar haji adalah gelar terhormat yang menjadi idaman setiap muslim di Kudus lebih lagi kiai haji. Haji menjadi puncak perwujudan pelaksanaan rukun Islam sedangkan Kiai melambangkan tingginya imu yang dimiliki manusia untuk diamalkan pada sesamanya. Dalam masyarakat Kudus terdapat ungkapan Jigang yang merupakan kependekan dari ngaji (mengaji) dan dagang (berdagang). Ngaji adalah membaca, mempelajari dan menelaah kitab suci Al Quran, merupakan amal yang mengarah pada kemuliaan hidup di Akhirat (Ukhrowi). Ngaji juga menyiratkan keutamaan seorang Muslim dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Dagang merupakan amalan yang mengarah pada kemuliaan hidup di dunia, berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Bagi umat Islam harus ada keseimbangan antara tujuan akhirat dan tujuan di dunia (Sardjono, 1997). Pengalaman sejarah memberikan anggapan pada masyarakat Kudus bahwa perilaku, kekayaan dan keyakinannya yang kuat pada agama Islam membedakan mereka dari masyarakat luar. Sikap ini telah menjadikan mereka militan, tertutup dan kurang menyukai menjadi pegawai pemerintah. Mereka menjadi pedagang yang merdeka, hidup dengan hemat, cerdik dan cekatan menjadikan mereka berpeluang besar untuk menjadi orang-orang kaya. Ketertutupan mereka terhadap masyarakat luar juga didasari pada kecurigaan mereka bahwa orang luar akan mengincar harta benda mereka. Diantara masyarakat ada kebiasaan untuk mengawinkan anak mereka dengan orang-orang dilingkungan mereka sendiri, antara lain supaya harta mereka tidak mengalir keluar.

II. TATA RUANG RUMAH ADAT KUDUS
Rumah tradisional Kudus tidak merupakan bangunan tunggal tetapi kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama, yakni: Dalem atau rumah induk, Jogosatru disebelah depan serta Pawon di samping Dalem. Di tengah tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka (pelataran), sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur serta Sisir. Regol terletak disisi samping halaman/ pekarangan. Dalem merupakan bangunan utama yang digunakan untuk tidur serta kegiatan yang sifatnya prifat. Denah Dalem berbentuk bujur sangkar atau segi empat. Di dalamnya dibagi dua bagian yakni Jogan serta Sentong. Sentong terdiri dari 3 ruangan yakni Sentong Kiwo dan Tengen yang digunakan sebagai ruang tidur pemilik rumah serta Sentong Tengah (Gedongan) yang kesehariannya dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat, pada saat upacara pernikahan digunakan sebagai kamar pengantin. Jogan digunakan untuk kegiatan intern anggota keluarga di dalam rumah. Jogosatru merupakan ruang untuk menerima tamu, terletak di depan Dalem. Material dan ornamentasi pada Jogosatru paling menonjol di banding ruang-ruang yang lain. Jogosatru akan dibahas lebih jauh pada bahasan selanjutnya. Pawon, adalah ruangan besar di samping bangunan dalem dan jogosatru. Pawon digunakan sebagai kegiatan bersama keluarga (ruang keluarga) serta tempat memasak pada bagian belakang. Ruangan ini paling sering digunakan dalam kehidupan keseharian. Sumur dan kamar mandi terletak di sebelah depan, dipisahkan halaman dari bangunan utama. Merupakan ruang ruang serfis, digunakan untuk mandi, mencuci serta berwudlu. Sumur terbuka tanpa atap dibatasi dinding yang juga membagi dua sumur. Sisir terletak di sebelah kamar mandi. Berbentuk los memanjang. Fungsi bangunan ini merupakan tempat kerja atau tempat penyimpanan (gudang) atau ruang serba guna. Kadang-kadang dipakai sebagai dapur umum ketika ada hajatan atau sebagai kamar tidur tambahan. Batas tapak berupa pagar massif yang tinggi, menutup tampilan rumah dari luar. Terdapat pintu regol untuk masuk ke halaman, berupa pintu ganda beratap.

III. JOGOSATRU
Salah satu ruangan yang menarik pada rumah adat Kudus adalah Jogosatru. Dilihat dari namanya “Jogo satru” artinya menjaga (dari) musuh, sehingga dapat dikatakan Jogosatru artinya adalah ruang untuk berjaga-jaga terhadap musuh yang berniat jahat. Hal ini agak mirip dengan fungsi emper rumah Jawa yang seringkali digunakan untuk tempat berkumpul sambil berjaga. Pada perkembangannya Jogosatru merupakan ruang tamu resmi dan tertutup dengan dinding pada keempat sisinya. Jogosatru terletak di sisi depan Dalem, berbentuk segiempat memanjang selebar sisi Dalem. Sisi samping Jogosatru berhubungan dengan Pawon bagian depan. Jogosatru berorientasi langsung ke halaman rumah. Posisi lantai Jogosatru kebanyakan cukup tinggi terhadap halaman, sehingga terdapat anak tangga menuju ke dalam. Anak tangga ini memanjang sepanjang Jogosatru serta Pawon. Terdapat tiga pintu yang menghubungkannya dengan halaman. Posisi lantai Jogosatru terhadap Pawon sama tinggi sehingga hubungan antara dua ruang ini sangat erat. Terdapat satu pintu yang menghubungkan Jogosatru dengan Pawon. Terhadap Dalem posisi Jogosatru jauh lebih rendah, kira-kira 80 cm. Antara dua ruang ini dihubungkan dengan satu pintu dalem berupa pintu ganda (kupu tarung). Sekalipun bersebelahan, hubungan Jogosatru dalam keseharian tidak begitu erat. Pintu utama Dalem lebih sering tertutup. Akses ke dalem lebih banyak dilakukan melalui Pawon di samping. Lantai pada Jogosatru berupa lantai tegel, berwarna dan kadang kadang berpola dengan dengan motif berwarna-warni. Lantai tegel juga menutup permukaan Pawon, walaupun kadang dibuat lebih sederhana, sementara Dalem berlantai kayu geladagan. Dinding pada Jogosatru berupa dinding kayu yang biasa disebut dengan gebyok. Gebyok dalam memisahkan Jogosatru dengan Dalem. Gebyok ini massif dengan hanya ada satu bukaan. Pada bagian yang menghadap Jogosatru ini ornamentasi paling banyak diterapkan, baik pada elemen struktu, rangka dinding maupun pada panil pengisinya. Gebyok samping memisahkan Jogosatru dengan Pawon. Pada Gebyok ini ornamentasi tetap diterapkan walaupun tidak serumit gebyok dalam. Sisi samping yang lain kadang-kadang berupa dinding batu bata plesteran dinding ini ditemukan pada rumah adat yang berpagar samping. Gebyok depan atau gebyok luar yang memisahkan dengan halaman mempunyai perlobangan yang lebih besar dengan tiga macam tutupan. Ornamentasi diterapkan pada sisi luar yang menghadap ke halaman, sementara yang menghadap ruang Jogosatru dibiarkan polos. Tiga macam tutupan depan tersebut adalah: pintu tengah, dinding geser serta pintu kere. Pintu tengah berbentuk pintu ganda (kupu tarung), penampilannya mirip dengan pintu utama dalem hanya saja lebih kecil dan lebih sederhana ornamentasinya. Pintu pengapit terdapat sepasang yang mengapit pintu utama. Pintu ini dibuat rangkap, bagian dalam berupa gebyok yang bisa digeser-geser. Bagian luar disebut pintu kere, yakni pintu geser setengah dinding dan semi transparan karena berjeruji kayu tegak. Tiga pintu tersebut menghasilkan kombinasi bukaan yang berbeda-beda pada Jogosatru. Ketika semua pintu tertutup, maka Jogosatru akan menjadi gelap. Kondisi ini terjadi pada malam hari serta pada saat rumah sedang ditinggal pergi penghuninya. Dinding geser terbuka dan pintu kere tertutup dalam ruang cukup terang namun tanpa akses. Kondisi ini terjadi pada keseharian ketika penghuni ada di rumah namun tidak menerima tamu. Pintu pengapit terbuka, Jogosatru terang dan terbuka, penghuni sedang menerima tamu di rumah. Pintu utama pada kondisi sehari-hari jarang dibuka. Pada saat ada perayaan atau penyelenggaraan ritus lingkaran hidup (kelahiran, selamatan, aqiqah) pintu utama serta pintu pengapit dibuka. Bahkan pada perayaan penting dengan banyak tamu, dinding gebyok pada Jogosatru dibuka penuh sehingga Jogosatru menjadi terbuka sebagaimana emper rumah Jawa. Beberapa elemen bangunan lain yang khas yang dijumpai di Jogosatru antara lain adalah : konsol kembar, tiang tunggal (soko geder), balok (belandar) besar serta bancik. Konsol atau kerbil kembar terletak pada sepasang kolom yang mengapit pintu dalem. Konsol ini berbentuk konsol siku yang menopang belandar besar di atasnya. Soko geder adalah satu satunya tiang yang menopang belandar di tengah ruangan di depan pintu dalem agak ke kiri atau kanan, fungsinya untuk membantuk mendukung belandar. Jumlah tiang yang hanya satu ini dimaknakan sebagai perlambang keesaan Allah SWT, sementara posisinya melambangkan jenis kelamin anak dari penghuni rumah (Salam, 1977). Bancik kayu sebenarnya dapat digolongkan pada perabot, namun fungsinya mendukung pencapaian ke Dalem, dibuat dari kayu yang diukir penuh. Atap Jogosatru merupakan atap Panggang Pe, yakni atap sosoran (perpanjangan) dari atap dalem dengan sudut atap yang lebih landai. Plafon di bawah atap menggunakan panil kayu dengan tetap mengekspose usuk. Konstruksi ini memberikan pola garis-garis sejajar pada bagian atas Jogosatru. Adanya belandar besar, konsol kembar dan soko geder memberikan gambaran pembentukan ruang Jogosatru. Jogosatru sebenarnya adalah emperan rumah yang mengalami pengutamaan (“up grade”) bentuk serta fungsi. Dimensi lebar dari emperan yang biasanya sempit diperlebar dengan memanjangkan teritisan serta memundurkan posisi dinding gebyog dalam, dengan kolom-kolom sepanjang dinding tersebut sehingga balok dinding di atasnya seakan-akan melayang atau menggantung di atas ruang Jogosatru. Untuk menyangga balok ini digunakan sepasang konsol besar yang diletakkan mengapit pintu utama dalem. Perkuatannya kemudian menggunakan tiang tunggal. Setelah ruangan diperlebar kemudian ditutup dengan gebyok di tiga sisi yang lain, menjadi ruangan yang lebih representatif. Penataan perabot pada Jogosatru mencerminkan aktifitas yang biasa dilakukan. Perabot inti pada Jogosatru terdirri dari dua kelompok meja dan kursi tamu. Satu kelompok terdiri dari satu meja dikelilingi empat kursi tamu. Dua kelompok perabot ini diletakkan sebelah menyebelah ruang dengan sumbu pada pintu dalem. Satu kelompok digunakan untuk tamu laki-laki, yakni pada posisi yang jauh dari pawon. Kelompok yang lain digunakan untuk tamu perempuan, pada posisi yang dekat dengan pawon. Diantara dua kelompok perabot tamu ini dipisahkan dengan meletakkan partisi atau bentangan kain. Posisi pemisah ruang sesuai dengan posisi soko geder. Penggunaan partisi atau kain ini dimaksudkan untuk memisahkan ruang Jogosatru secara spasial maupun fisual. Posisi kelompok perempuan di dekat pawon dimaksudkan agar memudahkan akses ke pawon serta menghindari melintas kelompok laki-laki. Kadang-kadang tamu perempuan yang sudah akrab diterima juga di pawon yang merupakan ruang keluarga. Setting yang lebih besar terjadi pada penyelenggaraan ritus perkawinan. Pada saat penyelenggaraan ritus perkawinan gebyok depan dibuka sehingga Jogosatru terlihat sebagaimana emper rumah yang terbuka.Kursi pelaminan diletakkan di depan pintu utama dengan pade-pade (latar belakang) gebyok dalem. Kursi orang tua mengapit di kanan dan kiri pengantin. Para sanak saudara menempati pawon. Orang-orang tua maupun yang dituakan menunggu di dalem. Kamar pengantin memakai ruang tidur tengah atau sentong. Para tamu menempati kusi yang ditata di halaman. Sisir digunakan sebagai dapur umum. Ornamentasi merupakan elemen bangunan yang tidak terlepaskan dari arsitektur bangunan di nusantara. Demikian juga dengan rumah adat kudus, ornamentasi merupakan unsur bangunan yang penting dan menjadi ciri utama bangunan rumah adat Kudus dan bagian bangunan yang dominan ornamentasinya adalah Jogosatru. Terdapat dua macam penerapan ornamentasi, yakni penerapan pada bidang dinding (gebyog) serta penerapan pada elemen bangunan. Pada gebyok, bidang dinding dibagi-bagi menjadi dua deret pola panil berbentuk segiempat berdiri, diantari pelipit atau lajur. Pelipit juga diterapkan pada sisi bawah maupun atas gebyok. Pelipit dihias penuh dengan ukiran. Panil kadang-kadang diukir kadang-kadang dibiarkan polos. Pada elemen bangunan ukiran diterapkan hampir disekujur permukaannya. Dari cara pengerjaannya terdapat beberapa teknik ukiran, yakni: hout relief (relief teknik tinggi), a your relief (relief tembus atau kerawangan), serta encreux relief (relief cekung) (triyanto, 2001 hal 241). Relief teknk tinggi banyak diterapkan pada ukiran elemen-elemen bangunan. Relief kerawangan diterapkan pada hiasan kusen pintu-pintu, pintu kere serta kadang pada panel gebyok. Ukiran cekung diterapkan pada pelipit-pelipit. Motif ukiran didominasi motif geometris serta motif tumbuh-tumbuhan. Motif hewan jarang ditemukan, kalaupun ada sudah mengalami stilasi bentuk. Ornamen bangunan selain merupakan hiasan untuk memperindah tampilan bangunan juga mengandung makna atau pesan dalam bentuk simbol (Sunaryo, 2009). Dari ornamentasinya juga dapat dilihat pengaruh asing yang masuk pada waktu itu. Ornamen banji atau swastika merupakan pengaruh hindu, bermankna keselamatan, kekuatan dan kesejahteraan. Tumpal atau sorot pengaruh dari china bermakna penerang jiwa dan kehidupan manusia. Sulur-suluran dan jambangan merupakan bentuk ornamen yang umum dijumpai, melambangkan kesuburan. Nanasan melambangkan penghargaan pada manusia. Jalinan tali merupakan pengaruh dari persia, melambangkan ikatan cinta kasih (Triyanto, 2001). Ornamentasi berupa pola bentuk lebih baku dibandingkan dengan penempatan ukirannya. Kadang-kadang dijumpai permukaan bidang maupun elemen bangunan yang polos tanpa ukiran. Artinya ukiran adalah sentuhan akhir pada tampilan bangunan yang keberadaan serta kualitasnya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi penghuni rumah. 

IV. KAJIAN RUANG JOGOSATRU
Masyarakat Kudus kulon adalah masyarakat pedagang yang dalam sejarahnya pernah mengalami masa kejayaan perekonomian, yakni pada alkhir abad ke 19 karena perdagangan beras dan palawija serta lebih lagi pada awal abad ke 20 karena industri rokok kretek. Kejayaan perekonomian membawa mereka menjadi semacam raja-raja kecil karena kekayaannya (Castles, 1982). Sayang sekali kejayaan ini tidak diimbangi dengan penghargaan yang semestinya dari lingkungan disekitar mereka. Orang-orang Kudus kulon ini adalah komunitas masyarakat yang kurang mendapat tempat dari lingkungan sosial di sekitarnya pada saat itu. Bagi kelompok elit masyarakat Jawa, yakni kaum bangsawan maupun priyayi, mereka dianggap sebagai golongan sempalan di luar dua golongan yang diakui, yakni kaum penggede serta wong cilik. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang materialistis, kurang mengenal sopan santun serta tidak menghargai filosofi dan kesenian (Castles, 1982). Bagi penguasa Kolonial, orang-orang Kudus dikenal sebagai orang-orang muslim yang keras kepala dan tidak dapat diajak kompromi. Mereka tetap dianggap masyarakat kebanyakan sekalipun mempunyai kekayaan. Bagi orang-orang China, pedagang-pengusahan Kudus ini adalah pesaing yang tangguh, licik dan tidak mudah menyerah. Perseteruan dengan mereka pernah meledak menjadi perang terbuka tahun 1918 dengan korban yang tidak sedikit. Dari kondisi sosio-ekonomi yang dialami sebagaimana deskripsi di atas, dapat dibayangkan tekanan terhadap eksistensi komunitas masyarakat kudus Kulon. Disatu sisi mempunyai kemampuan secara materiel, di sisi lain tidak mendapat tempat layak dalam strata sosial. Reaksi terhadap kondisi tersebut masyarakat Kudus Kulon lebih mempererat ikatan sosial diantara mereka mereka serta menutup diri dari pergaulan luar. Dalam membangun rumahnya mereka mencurahkan kemampuannya serta mencoba memperlihatkan derajat sosio-ekonominya sebagai berikut: Bentuk atap rumah adat Kudus adalah Joglo pencu. Bentuk atap ini adalah bentuk yang biasa digunakan pada rumah-rumah para bangsawan Jawa, bahkan rumah Joglo pencu mempunyai brunjung yang lebih tinggi. Hal yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang Jawa di pedalaman karena dianggap pamali. Ornamentasi sebagai pelengkap bangunan diaplikasikan secara luar biasa pada hampir seluruh tampilan bangunannya. Kualitas ornamentasi (tingkat kehalusan dan kerumitan ) serta kuantitasnya (luas bidang yang ditutup dengan ornamen) benar-benar memperlihatkan kemampuan mereka di bidang ekonomi. Ornamentasi paling banyak diterapkan pada ruang Jogsatru. Ruang yang paling banyak dikunjungi orang luar, ruang yang bisa dipamerkan pada para tamu yang mencerminkan derajat perekonomian tuan rumah. Mereka memilih Jogosatru karena Pendopo dan Pringgitan yang tidak cocok dengan budaya mereka dihilangkan dari tata ruang rumah (Sardjono, 1996). Sengai gantinya mereka meng’up grade’ emperan rumah menjadi ruang tamu dengan menaikkannya dari halaman, memperluas ruang dan menutupnya dengan dinding dan mengiasinya dengan ornamentasi. Dilihat pada setting perabot yang ada pada Jogosatru. Pemisahan ruang karena gender diterapkan secara tegas sekalipun tidak dengan pemisahan secara fisik. Daerah wanita meliputi zona perabot untuk tamu wanita yang menyambung ke Pawon serta searah dengan letak sumur dan bilik di depan bangunan. Pemisahan tersebut berkaitan dengan syariat Islam yang memang membatasi pergaulan laki-laki dan perempuan yang bukan muhlimnya. Luasnya daerah yang dikuasai wanita memberikan gambaran bahwa kaum laki-laki lebih banyak berada di luar rumah, baik dalam kesehariannya (ketika mengerjakan shalat mereka lebih sering mengerjakannya di masjid) maupun ketika berdagang. V. KESIMPULAN Dalam kaitannya dengan membangun rumahnya, Maslow menyatakan terdapat tingkatan kebutuhan yang dilandasi kemampuan ekonomi seseorang, yang membentuk piramida kebutuhan. Apabila dikaitkan dengan masyarakat Kudus kulon dapat dikatakan bentukan rumah mereka bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan keamanan saja melainkan juga untuk memenuhi tuntutan eksistensi diri. Kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sebagai golongan yang patut dihargai lebih dari masyarakat kebanyakan. Eksistensi dari suatu komunitas masyarakat muslim yang mandiri dan sukses. 

DAFTAR PUSTAKA
Bonnef, Marcel (1983) Islam di Jawa Dilihat Dari Kudus, dalam Citra Masyarakat Indonesia. Sinar Harapan, Jakarta.
Castles, Lance (1982) Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kretek Kudus. Sinar Harapan, Jakarta.
Salam, Solikin (1977) Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam. Menara Kudus, Kudus. Sardjono, Agung B. (1996) Rumah-rumah di Kota Lama Kudus. Tesis Program Pascasardjana UGM, Yogyakarta.
Triyanto (1992) Makna Ruang Pada Rumah Tradisional Kudus. Tesis Program Pasca Sardjana Fak. Sastra Universitas Indonesia.
Wikantari, Ria R. (1995) Safe Guarding A Lifing Heritage A Model for The Architectural Conservation of an Historic Islamic District of Kudus Indonesia. Thesis University of Tasmania, Tasmania.

Tidak ada komentar: