Rumah Adat Jawa Tengah
Joglo Khas Kudus
Agung Budi Sardjono
Post By Admin
Agung Budi Sardjono
Post By Admin
Abstract
Kudus traditional house, or better known as Pencu Joglo embodied
Pesisiran Javanese culture, especially Kudus. A range of Javanese
culture that are in the area north coast of Java. Known as the merchant
community with a high Islamic religiosity. For those of Javanese society
be underestimated. Historically this merchant communities often get
worse treatment from the priayi Java, from the colonial rulers and of
their trade rivals, the Chinese people. While on the other hand they are
successful people in the field of economy. This treatment caused them
to be a rather closed society and more obsessed to the economic field.
Their success in the field of economy and then poured out in his view,
especially in Jogosatru, living room, which can be displayed to everyone
who came to visit. The discussion of this paper is done by first
exploring the physical aspects of spatial pencu Joglo house, especially
at Jogosatru, setting and activity then developed in relation to
socio-cultural community as a representative of pesisiran culture.
Jogosatru is a form of self-actualization needs in the community
ownership of the Kudus house.
Keyword: guest room, traditional house, coastal culture
I. SEJARAH DAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT KUDUS
Sejarah kota Kudus banyak di kaitkan dengan sejarah perkembangan agama
Islam di Jawa serta sejarah tentang Walisongo. Ja’far Shodiq, salah
seorang Walisongo yang menjadi penghulu di Demak, karena suatu alasan
menyingkir dari pusat pemerintahan Demak kemudian menyiarkan agama
Islam di Kudus (Salam, 1977). Daerah baru baru ini dinamakan Al Quds
yang artinya kota suci, kemudian lebih dikenal dengan kota Kudus. Ja’far
Shodiq sebagai penguasa Kudus kemudian dikenal dengan gelar Sunan
Kudus. Sunan Kudus membangun masjid pada tahun 1549 yang dinamakan
masjid Al Aqsa atau masjid Al Manaar. Masjid Al Aqsa dan daerah
sekitarnya kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan
kemasyarakatan. Kejayaan Kudus menurun sepeninggal Sunan Kudus tahun
1550 dan berakhir ketika kerajaan Mataram Islam menguasai hampir seluruh
daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak abad 18 Kudus berada
dibawah kekuasaan Belanda dan dijadikan daerah setingkat Kabupaten.
Perkembangan kota berpindah ke daerah baru di sebelah Timur Kali Gelis
(dikenal dengan sebutan Kudus Wetan) pada abad 19, sementara daerah
Barat tetap bertahan dengan kondisi tradisionalnya.
Pada awalnya ketika Sunan Kudus mulai membuka kota, mata pencaharian
penduduk yang tidak lain adalah pengikutnya adalah adalah berdagang.
Perdagangan diantara masyarakat telah berkembang mengingat jarak yang
tidak terlalu jauh dari Demak maupun Jepara sebagai bandar perdagangan
yang cukup ramai pada saat itu (Wikantari, 1995). Pada masa kekuasaan
Mataram, Daerah sekitar Kudus berkembang menjadi daerah pemasok beras
utama bagi Mataram. Pada massa ini perdagangan palawija meningkat pesat
yang memberikan banyak keuntungan bagi para pedagang Kudus, khususnya di
Kudus Kulon. Menjelang akhir abad 19 kemakmuran masyarakat kembali
meningkat karena melimpahnya hasil pertanian. Hasil panen ini menjadi
mata dagangan penting bagi pedagang-pedagang Kudus. Daerah jelajah
pedagang-pedagang Kudus juga semakin luas walaupun masih terbatas di
dalam pulau Jawa (Castles, 1982). Pada paruh pertama abad 20 Kudus
menjadi terkenal karena pabrik rokoknya. Industri yang semula merupakan
kerajinan rumah tangga berkembang menjadi industri besar. Perkembangan
ini menarik kalangan masyarakat Cina untuk turut terjun dalam industri
rokok. Persaingan ini memicu pertentangan antar etnis yang puncaknya
terjadi pada tahun 1918 dengan pecahnya geger pecinan. Setelah peristiwa
tersebut perkembangan rokok kretek milik pribumi mengalami kemunduran
dan banyak yang kemudian bangkrut atau tutup, industri rokok ini
kemudian bayak dipegang oleh etnis cina yang mengembangkannya menjadi
industri raksasa. Sampai saat ini industri serta perdagangan masyarakat
Kudus Kulon tidak pernah lagi dapat mengulangi masa kejayaan tersebut.
Kota Kudus Identik dengan kota santri atau kota Islam, sejak berdirinya
yang merupakan bagian dari rangkaian penyebaran agama Islam di Jawa,
Kudus berkembang menjadi pusat pengetahuan dan pengembangan agama Islam
yang termashur di Jawa, bahkan nusantara. Pada kenyatannya predikat
tersebut hanya berlaku pada daerah kota lama atau Kudus Kulon, sementara
pada daerah-daerah lain lebih merupakan daerah sekuler (Bonnef, 1983).
Masyarakat Kudus kulon dikenal sebagai masyarakat muslim yang fanatik.
Mereka berusaha menjalankan semua perintah agamanya dan menjauhi
larangan-larangan agama. Dalam melaksanakan agamanya masyarakat banyak
meneladani ajaran Sunan Kudus. Agak berbeda dengan ajaran Sunan Kali
Jaga yang berkembang di Demak serta daerah pedalaman yang banyak
mengakomodir ajaran Hindu maupun kepercayaan animisme dan dinamisme,
ajaran Sunan Kudus relatif lebih puritan dengan mengharamkan
kegiatan-kegiatan yang berbau mistik dan sirik. Di kalangan masyarakat
Kudus Kulon tidak pernah sama sekali menyelenggarakan kegiatan pagelaran
wayang kulit yang dianggap banyak memasukkan unsur Hindu serta
kepercayaan. Sementara wayang kulit merupakan alat ampuh bagi Sunan
Kalijaga untuk menyebarkan ajaran Islam. Sampai saat ini dalam hal
keagamaan masyarakat Kudus kulon merasa sebagai penganut Islam fanatik
sementara penganut Islam yang lain disebut sebagai Islam abangan
(Sardjono, 1997).
Salah satu orientasi masyarakat Kudus adalah menunaikan ibadah haji dan
kalau mampu menjadi pemuka agama (kiai) serta mendirikan pesantren
sekembalinya dari tanah suci. Gelar haji adalah gelar terhormat yang
menjadi idaman setiap muslim di Kudus lebih lagi kiai haji. Haji menjadi
puncak perwujudan pelaksanaan rukun Islam sedangkan Kiai melambangkan
tingginya imu yang dimiliki manusia untuk diamalkan pada sesamanya.
Dalam masyarakat Kudus terdapat ungkapan Jigang yang merupakan
kependekan dari ngaji (mengaji) dan dagang (berdagang). Ngaji adalah
membaca, mempelajari dan menelaah kitab suci Al Quran, merupakan amal
yang mengarah pada kemuliaan hidup di Akhirat (Ukhrowi). Ngaji juga
menyiratkan keutamaan seorang Muslim dalam mempelajari ilmu pengetahuan.
Dagang merupakan amalan yang mengarah pada kemuliaan hidup di dunia,
berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Bagi umat
Islam harus ada keseimbangan antara tujuan akhirat dan tujuan di dunia
(Sardjono, 1997). Pengalaman sejarah memberikan anggapan pada masyarakat
Kudus bahwa perilaku, kekayaan dan keyakinannya yang kuat pada agama
Islam membedakan mereka dari masyarakat luar. Sikap ini telah menjadikan
mereka militan, tertutup dan kurang menyukai menjadi pegawai
pemerintah. Mereka menjadi pedagang yang merdeka, hidup dengan hemat,
cerdik dan cekatan menjadikan mereka berpeluang besar untuk menjadi
orang-orang kaya. Ketertutupan mereka terhadap masyarakat luar juga
didasari pada kecurigaan mereka bahwa orang luar akan mengincar harta
benda mereka. Diantara masyarakat ada kebiasaan untuk mengawinkan anak
mereka dengan orang-orang dilingkungan mereka sendiri, antara lain
supaya harta mereka tidak mengalir keluar.
II. TATA RUANG RUMAH ADAT KUDUS
Rumah tradisional Kudus tidak merupakan bangunan tunggal tetapi kesatuan
beberapa bangunan yang berfungsi untuk tempat tinggal dan melakukan
kegiatan sehari-hari di rumah. Pola tata bangunan terdiri dari bangunan
utama, yakni: Dalem atau rumah induk, Jogosatru disebelah depan serta
Pawon di samping Dalem. Di tengah tapak atau di depan bangunan utama
terdapat halaman terbuka (pelataran), sedangkan di seberangnya terdapat
kamar mandi dan sumur serta Sisir. Regol terletak disisi samping
halaman/ pekarangan.
Dalem merupakan bangunan utama yang digunakan untuk tidur serta kegiatan
yang sifatnya prifat. Denah Dalem berbentuk bujur sangkar atau segi
empat. Di dalamnya dibagi dua bagian yakni Jogan serta Sentong. Sentong
terdiri dari 3 ruangan yakni Sentong Kiwo dan Tengen yang digunakan
sebagai ruang tidur pemilik rumah serta Sentong Tengah (Gedongan) yang
kesehariannya dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat, pada saat
upacara pernikahan digunakan sebagai kamar pengantin. Jogan digunakan
untuk kegiatan intern anggota keluarga di dalam rumah.
Jogosatru merupakan ruang untuk menerima tamu, terletak di depan Dalem.
Material dan ornamentasi pada Jogosatru paling menonjol di banding
ruang-ruang yang lain. Jogosatru akan dibahas lebih jauh pada bahasan
selanjutnya. Pawon, adalah ruangan besar di samping bangunan dalem dan
jogosatru. Pawon digunakan sebagai kegiatan bersama keluarga (ruang
keluarga) serta tempat memasak pada bagian belakang. Ruangan ini paling
sering digunakan dalam kehidupan keseharian. Sumur dan kamar mandi
terletak di sebelah depan, dipisahkan halaman dari bangunan utama.
Merupakan ruang ruang serfis, digunakan untuk mandi, mencuci serta
berwudlu. Sumur terbuka tanpa atap dibatasi dinding yang juga membagi
dua sumur. Sisir terletak di sebelah kamar mandi. Berbentuk los
memanjang. Fungsi bangunan ini merupakan tempat kerja atau tempat
penyimpanan (gudang) atau ruang serba guna. Kadang-kadang dipakai
sebagai dapur umum ketika ada hajatan atau sebagai kamar tidur tambahan.
Batas tapak berupa pagar massif yang tinggi, menutup tampilan rumah
dari luar. Terdapat pintu regol untuk masuk ke halaman, berupa pintu
ganda beratap.
III. JOGOSATRU
Salah satu ruangan yang menarik pada rumah adat Kudus adalah Jogosatru.
Dilihat dari namanya “Jogo satru” artinya menjaga (dari) musuh, sehingga
dapat dikatakan Jogosatru artinya adalah ruang untuk berjaga-jaga
terhadap musuh yang berniat jahat. Hal ini agak mirip dengan fungsi
emper rumah Jawa yang seringkali digunakan untuk tempat berkumpul sambil
berjaga. Pada perkembangannya Jogosatru merupakan ruang tamu resmi dan
tertutup dengan dinding pada keempat sisinya. Jogosatru terletak di sisi
depan Dalem, berbentuk segiempat memanjang selebar sisi Dalem. Sisi
samping Jogosatru berhubungan dengan Pawon bagian depan. Jogosatru
berorientasi langsung ke halaman rumah. Posisi lantai Jogosatru
kebanyakan cukup tinggi terhadap halaman, sehingga terdapat anak tangga
menuju ke dalam. Anak tangga ini memanjang sepanjang Jogosatru serta
Pawon. Terdapat tiga pintu yang menghubungkannya dengan halaman. Posisi
lantai Jogosatru terhadap Pawon sama tinggi sehingga hubungan antara dua
ruang ini sangat erat. Terdapat satu pintu yang menghubungkan Jogosatru
dengan Pawon. Terhadap Dalem posisi Jogosatru jauh lebih rendah,
kira-kira 80 cm. Antara dua ruang ini dihubungkan dengan satu pintu
dalem berupa pintu ganda (kupu tarung). Sekalipun bersebelahan, hubungan
Jogosatru dalam keseharian tidak begitu erat. Pintu utama Dalem lebih
sering tertutup. Akses ke dalem lebih banyak dilakukan melalui Pawon di
samping.
Lantai pada Jogosatru berupa lantai tegel, berwarna dan kadang kadang
berpola dengan dengan motif berwarna-warni. Lantai tegel juga menutup
permukaan Pawon, walaupun kadang dibuat lebih sederhana, sementara Dalem
berlantai kayu geladagan. Dinding pada Jogosatru berupa dinding kayu
yang biasa disebut dengan gebyok. Gebyok dalam memisahkan Jogosatru
dengan Dalem. Gebyok ini massif dengan hanya ada satu bukaan. Pada
bagian yang menghadap Jogosatru ini ornamentasi paling banyak
diterapkan, baik pada elemen struktu, rangka dinding maupun pada panil
pengisinya. Gebyok samping memisahkan Jogosatru dengan Pawon. Pada
Gebyok ini ornamentasi tetap diterapkan walaupun tidak serumit gebyok
dalam. Sisi samping yang lain kadang-kadang berupa dinding batu bata
plesteran dinding ini ditemukan pada rumah adat yang berpagar samping.
Gebyok depan atau gebyok luar yang memisahkan dengan halaman mempunyai
perlobangan yang lebih besar dengan tiga macam tutupan. Ornamentasi
diterapkan pada sisi luar yang menghadap ke halaman, sementara yang
menghadap ruang Jogosatru dibiarkan polos.
Tiga macam tutupan depan tersebut adalah: pintu tengah, dinding geser
serta pintu kere. Pintu tengah berbentuk pintu ganda (kupu tarung),
penampilannya mirip dengan pintu utama dalem hanya saja lebih kecil dan
lebih sederhana ornamentasinya. Pintu pengapit terdapat sepasang yang
mengapit pintu utama. Pintu ini dibuat rangkap, bagian dalam berupa
gebyok yang bisa digeser-geser. Bagian luar disebut pintu kere, yakni
pintu geser setengah dinding dan semi transparan karena berjeruji kayu
tegak. Tiga pintu tersebut menghasilkan kombinasi bukaan yang
berbeda-beda pada Jogosatru. Ketika semua pintu tertutup, maka Jogosatru
akan menjadi gelap. Kondisi ini terjadi pada malam hari serta pada saat
rumah sedang ditinggal pergi penghuninya. Dinding geser terbuka dan
pintu kere tertutup dalam ruang cukup terang namun tanpa akses. Kondisi
ini terjadi pada keseharian ketika penghuni ada di rumah namun tidak
menerima tamu. Pintu pengapit terbuka, Jogosatru terang dan terbuka,
penghuni sedang menerima tamu di rumah. Pintu utama pada kondisi
sehari-hari jarang dibuka. Pada saat ada perayaan atau penyelenggaraan
ritus lingkaran hidup (kelahiran, selamatan, aqiqah) pintu utama serta
pintu pengapit dibuka. Bahkan pada perayaan penting dengan banyak tamu,
dinding gebyok pada Jogosatru dibuka penuh sehingga Jogosatru menjadi
terbuka sebagaimana emper rumah Jawa.
Beberapa elemen bangunan lain yang khas yang dijumpai di Jogosatru
antara lain adalah : konsol kembar, tiang tunggal (soko geder), balok
(belandar) besar serta bancik. Konsol atau kerbil kembar terletak pada
sepasang kolom yang mengapit pintu dalem. Konsol ini berbentuk konsol
siku yang menopang belandar besar di atasnya. Soko geder adalah satu
satunya tiang yang menopang belandar di tengah ruangan di depan pintu
dalem agak ke kiri atau kanan, fungsinya untuk membantuk mendukung
belandar. Jumlah tiang yang hanya satu ini dimaknakan sebagai perlambang
keesaan Allah SWT, sementara posisinya melambangkan jenis kelamin anak
dari penghuni rumah (Salam, 1977). Bancik kayu sebenarnya dapat
digolongkan pada perabot, namun fungsinya mendukung pencapaian ke Dalem,
dibuat dari kayu yang diukir penuh.
Atap Jogosatru merupakan atap Panggang Pe, yakni atap sosoran
(perpanjangan) dari atap dalem dengan sudut atap yang lebih landai.
Plafon di bawah atap menggunakan panil kayu dengan tetap mengekspose
usuk. Konstruksi ini memberikan pola garis-garis sejajar pada bagian
atas Jogosatru. Adanya belandar besar, konsol kembar dan soko geder
memberikan gambaran pembentukan ruang Jogosatru. Jogosatru sebenarnya
adalah emperan rumah yang mengalami pengutamaan (“up grade”) bentuk
serta fungsi. Dimensi lebar dari emperan yang biasanya sempit diperlebar
dengan memanjangkan teritisan serta memundurkan posisi dinding gebyog
dalam, dengan kolom-kolom sepanjang dinding tersebut sehingga balok
dinding di atasnya seakan-akan melayang atau menggantung di atas ruang
Jogosatru. Untuk menyangga balok ini digunakan sepasang konsol besar
yang diletakkan mengapit pintu utama dalem. Perkuatannya kemudian
menggunakan tiang tunggal. Setelah ruangan diperlebar kemudian ditutup
dengan gebyok di tiga sisi yang lain, menjadi ruangan yang lebih
representatif.
Penataan perabot pada Jogosatru mencerminkan aktifitas yang biasa
dilakukan. Perabot inti pada Jogosatru terdirri dari dua kelompok meja
dan kursi tamu. Satu kelompok terdiri dari satu meja dikelilingi empat
kursi tamu. Dua kelompok perabot ini diletakkan sebelah menyebelah ruang
dengan sumbu pada pintu dalem. Satu kelompok digunakan untuk tamu
laki-laki, yakni pada posisi yang jauh dari pawon. Kelompok yang lain
digunakan untuk tamu perempuan, pada posisi yang dekat dengan pawon.
Diantara dua kelompok perabot tamu ini dipisahkan dengan meletakkan
partisi atau bentangan kain. Posisi pemisah ruang sesuai dengan posisi
soko geder. Penggunaan partisi atau kain ini dimaksudkan untuk
memisahkan ruang Jogosatru secara spasial maupun fisual. Posisi kelompok
perempuan di dekat pawon dimaksudkan agar memudahkan akses ke pawon
serta menghindari melintas kelompok laki-laki. Kadang-kadang tamu
perempuan yang sudah akrab diterima juga di pawon yang merupakan ruang
keluarga.
Setting yang lebih besar terjadi pada penyelenggaraan ritus perkawinan.
Pada saat penyelenggaraan ritus perkawinan gebyok depan dibuka sehingga
Jogosatru terlihat sebagaimana emper rumah yang terbuka.Kursi pelaminan
diletakkan di depan pintu utama dengan pade-pade (latar belakang) gebyok
dalem. Kursi orang tua mengapit di kanan dan kiri pengantin. Para sanak
saudara menempati pawon. Orang-orang tua maupun yang dituakan menunggu
di dalem. Kamar pengantin memakai ruang tidur tengah atau sentong. Para
tamu menempati kusi yang ditata di halaman. Sisir digunakan sebagai
dapur umum.
Ornamentasi merupakan elemen bangunan yang tidak terlepaskan dari
arsitektur bangunan di nusantara. Demikian juga dengan rumah adat kudus,
ornamentasi merupakan unsur bangunan yang penting dan menjadi ciri
utama bangunan rumah adat Kudus dan bagian bangunan yang dominan
ornamentasinya adalah Jogosatru. Terdapat dua macam penerapan
ornamentasi, yakni penerapan pada bidang dinding (gebyog) serta
penerapan pada elemen bangunan. Pada gebyok, bidang dinding dibagi-bagi
menjadi dua deret pola panil berbentuk segiempat berdiri, diantari
pelipit atau lajur. Pelipit juga diterapkan pada sisi bawah maupun atas
gebyok. Pelipit dihias penuh dengan ukiran. Panil kadang-kadang diukir
kadang-kadang dibiarkan polos. Pada elemen bangunan ukiran diterapkan
hampir disekujur permukaannya. Dari cara pengerjaannya terdapat beberapa
teknik ukiran, yakni: hout relief (relief teknik tinggi), a your relief
(relief tembus atau kerawangan), serta encreux relief (relief cekung)
(triyanto, 2001 hal 241). Relief teknk tinggi banyak diterapkan pada
ukiran elemen-elemen bangunan. Relief kerawangan diterapkan pada hiasan
kusen pintu-pintu, pintu kere serta kadang pada panel gebyok. Ukiran
cekung diterapkan pada pelipit-pelipit.
Motif ukiran didominasi motif geometris serta motif tumbuh-tumbuhan.
Motif hewan jarang ditemukan, kalaupun ada sudah mengalami stilasi
bentuk. Ornamen bangunan selain merupakan hiasan untuk memperindah
tampilan bangunan juga mengandung makna atau pesan dalam bentuk simbol
(Sunaryo, 2009). Dari ornamentasinya juga dapat dilihat pengaruh asing
yang masuk pada waktu itu. Ornamen banji atau swastika merupakan
pengaruh hindu, bermankna keselamatan, kekuatan dan kesejahteraan.
Tumpal atau sorot pengaruh dari china bermakna penerang jiwa dan
kehidupan manusia. Sulur-suluran dan jambangan merupakan bentuk ornamen
yang umum dijumpai, melambangkan kesuburan. Nanasan melambangkan
penghargaan pada manusia. Jalinan tali merupakan pengaruh dari persia,
melambangkan ikatan cinta kasih (Triyanto, 2001). Ornamentasi berupa
pola bentuk lebih baku dibandingkan dengan penempatan ukirannya.
Kadang-kadang dijumpai permukaan bidang maupun elemen bangunan yang
polos tanpa ukiran. Artinya ukiran adalah sentuhan akhir pada tampilan
bangunan yang keberadaan serta kualitasnya disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi penghuni rumah.
IV. KAJIAN RUANG JOGOSATRU
Masyarakat Kudus kulon adalah masyarakat pedagang yang dalam sejarahnya
pernah mengalami masa kejayaan perekonomian, yakni pada alkhir abad ke
19 karena perdagangan beras dan palawija serta lebih lagi pada awal abad
ke 20 karena industri rokok kretek. Kejayaan perekonomian membawa
mereka menjadi semacam raja-raja kecil karena kekayaannya (Castles,
1982). Sayang sekali kejayaan ini tidak diimbangi dengan penghargaan
yang semestinya dari lingkungan disekitar mereka. Orang-orang Kudus
kulon ini adalah komunitas masyarakat yang kurang mendapat tempat dari
lingkungan sosial di sekitarnya pada saat itu. Bagi kelompok elit
masyarakat Jawa, yakni kaum bangsawan maupun priyayi, mereka dianggap
sebagai golongan sempalan di luar dua golongan yang diakui, yakni kaum
penggede serta wong cilik. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang
materialistis, kurang mengenal sopan santun serta tidak menghargai
filosofi dan kesenian (Castles, 1982). Bagi penguasa Kolonial,
orang-orang Kudus dikenal sebagai orang-orang muslim yang keras kepala
dan tidak dapat diajak kompromi. Mereka tetap dianggap masyarakat
kebanyakan sekalipun mempunyai kekayaan. Bagi orang-orang China,
pedagang-pengusahan Kudus ini adalah pesaing yang tangguh, licik dan
tidak mudah menyerah. Perseteruan dengan mereka pernah meledak menjadi
perang terbuka tahun 1918 dengan korban yang tidak sedikit.
Dari kondisi sosio-ekonomi yang dialami sebagaimana deskripsi di atas,
dapat dibayangkan tekanan terhadap eksistensi komunitas masyarakat
kudus Kulon. Disatu sisi mempunyai kemampuan secara materiel, di sisi
lain tidak mendapat tempat layak dalam strata sosial. Reaksi terhadap
kondisi tersebut masyarakat Kudus Kulon lebih mempererat ikatan sosial
diantara mereka mereka serta menutup diri dari pergaulan luar.
Dalam membangun rumahnya mereka mencurahkan kemampuannya serta mencoba
memperlihatkan derajat sosio-ekonominya sebagai berikut:
Bentuk atap rumah adat Kudus adalah Joglo pencu. Bentuk atap ini adalah
bentuk yang biasa digunakan pada rumah-rumah para bangsawan Jawa, bahkan
rumah Joglo pencu mempunyai brunjung yang lebih tinggi. Hal yang tidak
akan dilakukan oleh orang-orang Jawa di pedalaman karena dianggap
pamali.
Ornamentasi sebagai pelengkap bangunan diaplikasikan secara luar biasa
pada hampir seluruh tampilan bangunannya. Kualitas ornamentasi (tingkat
kehalusan dan kerumitan ) serta kuantitasnya (luas bidang yang ditutup
dengan ornamen) benar-benar memperlihatkan kemampuan mereka di bidang
ekonomi. Ornamentasi paling banyak diterapkan pada ruang Jogsatru. Ruang
yang paling banyak dikunjungi orang luar, ruang yang bisa dipamerkan
pada para tamu yang mencerminkan derajat perekonomian tuan rumah.
Mereka memilih Jogosatru karena Pendopo dan Pringgitan yang tidak cocok
dengan budaya mereka dihilangkan dari tata ruang rumah (Sardjono, 1996).
Sengai gantinya mereka meng’up grade’ emperan rumah menjadi ruang tamu
dengan menaikkannya dari halaman, memperluas ruang dan menutupnya dengan
dinding dan mengiasinya dengan ornamentasi.
Dilihat pada setting perabot yang ada pada Jogosatru. Pemisahan ruang
karena gender diterapkan secara tegas sekalipun tidak dengan pemisahan
secara fisik. Daerah wanita meliputi zona perabot untuk tamu wanita yang
menyambung ke Pawon serta searah dengan letak sumur dan bilik di depan
bangunan. Pemisahan tersebut berkaitan dengan syariat Islam yang memang
membatasi pergaulan laki-laki dan perempuan yang bukan muhlimnya.
Luasnya daerah yang dikuasai wanita memberikan gambaran bahwa kaum
laki-laki lebih banyak berada di luar rumah, baik dalam kesehariannya
(ketika mengerjakan shalat mereka lebih sering mengerjakannya di masjid)
maupun ketika berdagang.
V. KESIMPULAN
Dalam kaitannya dengan membangun rumahnya, Maslow menyatakan terdapat
tingkatan kebutuhan yang dilandasi kemampuan ekonomi seseorang, yang
membentuk piramida kebutuhan. Apabila dikaitkan dengan masyarakat Kudus
kulon dapat dikatakan bentukan rumah mereka bukan lagi untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan keamanan saja melainkan juga untuk memenuhi tuntutan
eksistensi diri. Kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sebagai golongan
yang patut dihargai lebih dari masyarakat kebanyakan. Eksistensi dari
suatu komunitas masyarakat muslim yang mandiri dan sukses.
DAFTAR PUSTAKA
Bonnef, Marcel (1983) Islam di Jawa Dilihat Dari Kudus, dalam Citra
Masyarakat Indonesia. Sinar Harapan, Jakarta.
Castles, Lance (1982) Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa:
Industri Rokok Kretek Kudus. Sinar Harapan, Jakarta.
Salam, Solikin (1977) Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam. Menara
Kudus, Kudus.
Sardjono, Agung B. (1996) Rumah-rumah di Kota Lama Kudus. Tesis Program
Pascasardjana UGM, Yogyakarta.
Triyanto (1992) Makna Ruang Pada Rumah Tradisional Kudus. Tesis Program
Pasca Sardjana Fak. Sastra Universitas Indonesia.
Wikantari, Ria R. (1995) Safe Guarding A Lifing Heritage A Model for The
Architectural Conservation of an Historic Islamic District of Kudus
Indonesia. Thesis University of Tasmania, Tasmania.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar